1 Mei 2013

JURNAL MENGENAI PKN


PKN (Pendidikan Kewarga Negaraan) merupakan mata pelajaran sosial yang bertujuan untuk membentuk/membina Warga Negara yang baik yaitu Warga Negara yang tau dan mampu berbuat baik. Salah satu Warga Negara yang baik yaitu yang mempunyai rasa memiliki. Apakah kita sudah mempunyai kriteria tersebut…???
            Mari kita ulas sedikit hal mengenai rasa  memiliki ini. Kalau ditanya pada diiri saya sendiri apakah saya mempunyai rasa memiliki ini? Jawabanya adalah tidak. Walaupun saya merasa memiliki, tetapi saya tidak bisa berbuat sesuatu yang berarti untuk mempertahankan apa yang saya miliki. kenapa demikian…???
            Seperti yang kita tahu banyak pulau di Indonesia yang di jual seperti Pulau Galang Baru di Provinsi Riau (UNTUK PEMBUANGAN LIMBAH BERBAHAYA DAN BERACUN DARI SINGAPURA), Pulau Sebaik (UNTUK DIKEDUK DAN DIANGKAT PASIRNYA KE SINGAPURA), Pulau Tatawa( NTT),  Pulau Panjang (NTB), Pulau Meriah (NTB), Pulau Bawah ( Natuna), Pulau Bengkoang (Jawa Tengah), Pulau Geleang (Jawa Tengah), Pulau Kembar (Jawa Tengah), Pulau Kumbang (Jawa Tengah), Pulau Katang (Jawa Tengah), Pulau Krakal Kecil (Jawa Tengah), Pulau Krakal Besar (Jawa Tengah), dan entah apalagi yang sudah di jual….???
            Sekarang yang jadi pertanyaan siapakah yang dengan beraninya menjual pulau-pulau itu dan atas dasar apa mereka melakukan hal itu…??? Mereka yang berkuasa (pemerintah) selalu mengatakan “NKRI HARGA MATI”. TERNYATA DIAM-DIAM MENJUAL PULAUNYA SENDIRI. YA AMPUN!!!! TERNYATA NKRI BUKAN HARGA MATI. Mereka selalu mengatakan, kita sebagai Warga Negara yang baik harus mempunyai “rasa memiliki”. Rasa memiliki seperti apa yang sebenarnya mereka maksut…??? Karena merasa memiliki jadi dengan mudahnya mereka menjual pulau-pulau itu…???
            Ini benar-benar tidak adil. Mereka yang lebih berpendidikan melakukan hal sekeji itu tetapi bisa-bisanya mereka menyuruh kita untuk mempunyai “rasa memiliki”… Sebenarnya siapa yang harus dirubah…??? Masyarakat atau pemerintah…?? Seandainya saja pemerintah menunjukkan kepeduliaan mereka sebagai aplikasi “rasa memiliki” mungkin kita sebagai warga Negara akan mendengarkan dan melakukan apa yang mereka katakan selama itu untuk kebaikan kita bersama. Kapan kah akan ada pemerintahan yang seperti itu, sehingga akan adanya singkronisasi antara pemerintahaan dan Warga Negara….???

Makalah Perspektif Global






PARTISIPASI POLITIK
Menganalisis Terjadinya GOLPUT di Indonesia
Diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Perspektif Global


Kelompok 6
1.      Diana Setia Rahayu                (120210204027)
2.      Arifah Dianah                         (120210204059)
3.      Aristya Ayu Syafitri               (120210204109)



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2013







KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya kami dapat menyelesikan tugas mata kuliah Perspektif Global dengan judul “Menganalisis Terjadinya GOLPUT di Indonesia“dengan baik.
Kami menyampaikan terimakasih kepada dosen pembimbing kami yang telah membimbing kami. Tak lupa kami menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada orang tua yang dengan sabar mendidik dan selalu mendukung kami. Juga kepada teman-teman yang telah membantu terselesaikannya makalah ini.
Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Penulis telah mengerjakan makalah ini dengan sebaik-baiknya, tetapi sebagaimana hakikat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang tidak sempurna maka, penulis meminta maaf yang sebesar-besarnya apabila dalam makalah ini masih terdapat kesalahan dalam penulisannya.
Kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi lebih baiknya makalah ini dan makalah yang selanjutnya. Terimakasih.

 Penulis




DAFTAR ISI

Kata Pengantar.................................................................................................................. i
Daftar Isi........................................................................................................................... ii
BAB 1. Pendahuluan......................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang............................................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................... 1
1.3 Tujuan........................................................................................................................ 1
BAB 2 Isi......................................................................................................................... 2
2.1 Tinjauan Teori ............................................................................................................ 2
2.2 Pembahasan................................................................................................................ 9
BAB 3. Penutup.............................................................................................................. 22
Daftar Pustaka.................................................................................................................. iii















BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG
            Tiada henti-hentinya bila kita membahas tentang politik, apalagi di era globalisasi seperti sekarang ini. Globalisasi membawa dampak yang sangat berpengaruh dalam politik di Indonesia. Seperti yang kita tahu Indonesia merupakan negara yang demokratis, oleh karena itu partisipasi masyarakat, utamanya dalam politik sangat diperlukan untuk membentuk suatu pemerintahan. Suatu bentuk partisipasi yang agak mudah untuk diukur intensitasnya adalah perilaku warga negara dalam pemilihan umum antara lain melalui perhitungan persentase orang yang menggunakan hak pilihnya dibanding dengan jumlah warga negara yang berhak memilih. Salah satu permasalahan yang cukup fenomenal di dalam pemilihan umum yaitu adanya Golongan Putih yang kerap disebut “GOLPUT”.
            “GOLPUT” merupakan kata yang tak asing lagi di telinag masyarakat. Bahkan sekarang jumlah Warga Negara yang melakukan GOLPUT menurut lembaga survey semakin meningkat. Hal ini diakibatkan banyak faktor dan sampai saat ini banyak solusi yang telah dilakukan tetapi dalam kenyataannya jumlah orang yang melakukan GOLPUT masih saja terus meningkat. Bila hal ini terus terjadi, tidak menutup kemungkinan akan mengantarkan Negara ini ke dalam kehancuran.
1.2 RUMUSAN MASALAH
  1. Apa pengertian dari politik, partisipasi politik, pemilu dan golput?
  2. Apa penyebab terjadinya golput?
  3. Bagaimana solusi yang bisa dilakukan untuk mengatasi terjadinya golput?
1.3 TUJUAN
  1. Mengetahui pengertian dari politik, partisipasi politik, pemilu dan golput
  2. Mengetahui penyebab terjadinya golput
  3. Dapat memberikan solusi untuk mengatasi terjadinya golput



BAB 2
ISI

2.1 TINJAUAN TEORI
            “Politik adalah interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu” (Ramlan Surbakti, 1991). “Politik adalah salah satu perjuangan untuk memperoleh kekuasaan atau sebagai tekhnik menjalankan kekuasaan” (F. Isjwara, 1995). “Politik adalah aktivitas perilaku atau proses yang menggunakan kekuasaan untuk menegakkan peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan yang sah berlaku di tengah masyarakat” (Kartini Kartono, 1996). Menurut definisi di atas dapat disimpulkan bahwa politik merupakan salah satu sarana interaksi atau komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat sehingga apapun program yang akan dilaksanakan oleh pemerintah sesuai dengan keinginan-keinginan masyarakat dimana tujuan yang dicita-citakan dapat dicapai dengan baik.
Dalam analisis politik modern partisipasi politik merupakan suatu masalah yang penting, dan akhir-akhir ini banyak dipelajari terutama pada hubungannya dengan  negara-negara yang sedang berkembang.
            Apakah yang dinamakan partisipasi politik itu? Sebagai definisi umum dapat dikatakan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah. Kegiatan ini mencakup kegiatan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai, mengadakan hubungan dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen, dan sebagainya. Untuk lebih jelasnya, dibawah ini disajikan pendapat beberapa sarjana.
            “Partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung dan tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum” (The term “political participation” will refer to those voluntary activities by which members of a society share in the selection of rulers and, directly or indirectly, in the formation of public policy). Herbert McClosky (1972 dalam Miriam Budiardjo, 1998: 2)
            “Partisipasi politik adalah kegiatan pribadi warga negara yang legal yang sedikit banyak langsung bertujuan untuk mempengaruhi seleksi pejabat-pejabat negara dan/atau tindakan-tindakan yang diambil oleh mereka” (By political participation we refer to those legal activities by private citizens which are more or less directly aimed at influencing the selection of governmental personnel and/or the action they take). Norman H. Nie dan Sidney Verba (1975 dalam Miriam Budiardjo, 1998: 2)
            “Partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif” (By political participation we mean activity by private citizens designed to influence government decision-making. Participation may be individual or collective, organized or spontaneous, sustained or sporadic, peaceful or violent, legal or illegal, effective or ineffective). Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson (1977 dalam Miriam Budiardjo, 1998: 3)
            Di negara demokratis pemikiran yang mendasari konsep partisipasi politik ialah kedaulatan ada ditangan rakyat, yang dilaksanakan melalui kegiatan bersama untuk menetapkan tujuan-tujuan serta masa depan masyarakat itu dan untuk menentukan orang-orang yang akan memegang tumpuk pimpinan. Anggota masyarakat yang berpartisipasi dalam proses politik misalnya melalui pemberian suara atau kegiatan lain, terdorong oleh keyakinan bahwa melalui kegiatan bersama itu kepentingan mereka akan tersalur dan mereka sedikit banyak dapat mempengaruhi tindakan mereka yang berwenang untuk membuat keputusan yang mengikat. Dalam Negara demokratis, umumnya dianggap bahwa lebih banyak partisipasi mesyarakat, lebih baik. Sebaliknya, tingkat partisipasi yang rendah pada umumnya dianggap sebagai tanda yang kurang baik, karena diartikan bahwa warga negara tidak menaruh perhatian terhadap masalah kenegaraan. Lagi pula, dikhawatirkan bahwa jika berbagai pendapat kurang mendapat kesempatan untuk dikemukakan, pimpinan negara akan kurang tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat dan cenderung untuk melayani kepentingan kelompok saja.
Suatu bentuk partisipasi yang agak mudah untuk diukur intensitasnya adalah perilaku warga negara dalam pemilihan umum antara lain melalui perhitungan persentase orang yang menggunakan hak pilihnya dibanding dengan jumlah warga negara yang berhak memilih.
Pemilihan umum merupakan sarana yang bersifat demokratis untuk membentuk sistem kekuatan negara yang berkedaulatan rakyat dan permusyawaratan perwakilan yang digariskan oleh Undang-Undang Dasar negara. Kekuasaan yang lahir dengan pemilihan umum adalah kekuasaan yang lahir dari bawah menurut kehendak rakyat dan dipergunakan sesuai dengan keinginan rakyat oleh rakyat, menurut sistem permusyawaratan perwakilan. Pemerintahan dari dan untuk rakyat. Melalui pemilu, setidaknya dapat dicapai tiga hal. Pertama yaitu, lewat pemilu kita dapat menguji hak-hak politik rakyat secara keseluruhan. Kedua, melalui pemilu kita dapat berharap terjadinya proses rekrutmen politik secara adil, terbuka, dan kompetitif. Ketiga, dari pemilihan umum kita menginginkan adanya pergantian kekuasaan dari figur-figur pejabat publik yang lebih baik.
Diadakan pemilihan umum itu tidak sekedar memilih wakil-wakil rakyat untuk duduk dalam lembaga permusyawaratan atau perwakilan saja, dan juga tidak memilih wakil-wakil rakyat untuk menyusun negara baru dengan dasar falsafah negara baru, tetapi suatu pemilihan wakil-wakil rakyat oleh rakyat yang membawakan isi hati nurani rakyat dalam melanjutkan perjuangan mempertahankan dan mengembangkan Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia bersumber pada proklamasi 17 Agustus 1945 guna memenuhi dan mengemban amanat penderitaan rakyat.
            Dalam kajian perilaku pemilih hanya ada dua konsep utama, yaitu; perilaku memilih (voting behavior) dan perilaku tidak memilih (non voting behavior). David Moon mengatakan ada dua pendekatan teoritik utama dalam menjelaskan prilaku non-voting yaitu: pertama, menekankan pada karakteristik sosial dan psikologi pemilih dan karakteristik institusional sistem pemilu; dan kedua, menekankan pada harapan pemilih tentang keuntungan dan kerugian atas keputusan mereka untuk hadir atau tidak hadir memilih (dalam Hasanuddin M. Saleh;2007). Istilah golput muncul pertama kali menjelang pemilu pertama zaman Orde Baru tahun 1971. Pemakarsa sikap untuk tidak memilih itu, antara lain Arief Budiman, Julius Usman dan almarhum Imam Malujo Sumali. Langkah mereka didasari pada pandangan bahwa aturan main berdemokrasi tidak ditegakkan, cenderung diinjak-injak (Fadillah Putra ;2003 ; 104). Golput menurut Arif Budiman bukan sebuah organisasi tanpa pengurus tetapi hanya merupakan pertemuan solidaritas (Arif Budiman). Sedangkan Arbi Sanit mengatakan bahwa golput adalah gerakan protes politik yang didasarkan pada segenap problem kebangsaan, sasaran protes dari dari gerakan golput adalah penyelenggaraan pemilu. Mengenai golput alm. KH. Abdurrahaman Wahid pernah mengatakan “ kalau tidak ada yang bisa di percaya, ngapain repot- repot ke kotak suara? Dari pada nanti kecewa (Abdurrahamn Wahid, dkk, 2009; 1). Sikap orang-orang golput, menurut Arbi Sanit dalam memilih memang berbeda dengan kelompok pemilih lain atas dasar cara penggunaan hak pilih. Apabila pemilih umumnya menggunakan hak pilih sesuai peraturan yang berlaku atau tidak menggunakan hak pilih karena berhalangan di luar kontrolnya, kaum golput menggunakan hak pilih dengan tiga kemungkinan. Pertama, menusuk lebih dari satu gambar partai. Kedua ,menusuk bagian putih dari kartu suara. Ketiga, tidak mendatangi kotak suara dengan kesadaran untuk tidak menggunakan hak pilih. Bagi mereka, memilih dalam pemilu sepenuhnya adalah hak. Kewajiban mereka dalam kaitan dengan hak pilih ialah menggunakannya secara bertanggungjawab dengan menekankan kaitan penyerahan suara kepada tujuan pemilu, tidak hanya membatasi pada penyerahan suara kepada salah satu kontestan pemilu (Arbi Sanit ; 1992) Jadi berdasarkan hal di atas, golput adalah mereka yang dengan sengaja dan dengan suatu maksud dan tujuan yang jelas menolak memberikan suara dalam pemilu. Dengan demikian, orang-orang yang berhalangan hadir di Tempat Pemilihan Suara (TPS) hanya karena alasan teknis, seperti jauhnya TPS atau terluput dari pendaftaran, otomatis dikeluarkan dari kategori golput. Begitu pula persyaratan yang diperlukan untuk menjadi golput bukan lagi sekedar memiliki rasa enggan atau malas ke TPS tanpa maksud yang jelas. Pengecualian kedua golongan ini dari istilah golput tidak hanya memurnikan wawasan mengenai kelompok itu, melainkan juga sekaligus memperkecil kemungkinan terjadinya pengaburan makna, baik di sengaja maupun tidak. Eep Saefulloh Fatah, mengklasifikasikan golput atas empat golongan. Pertama, golput teknis, yakni mereka yang karena sebab-sebab teknis tertentu (seperti keluarga meninggal, ketiduran, dan lain-lain) berhalangan hadir ke tempat pemungutan suara, atau mereka yang keliru mencoblos sehingga suaranya dinyatakan tidak sah. Kedua, golput teknis-politis, seperti mereka yang tidak terdaftar sebagai pemilih karena kesalahan dirinya atau pihak lain (lembaga statistik, penyelenggara pemilu). Ketiga, golput politis, yakni mereka yang merasa tak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tak percaya bahwa pileg/pilkada akan membawa perubahan dan perbaikan. Keempat, golput ideologis, yakni mereka yang tak percaya pada mekanisme demokrasi (liberal) dan tak mau terlibat di dalamnya entah karena alasan fundamentalisme agama atau alasan politik-ideologi lain (dalam Hery M.N. Fathah). Sedangkan menurut Novel Ali(1999;22)., di Indonesia terdapat dua kelompok golput Pertama, adalah kelompok golput awam. Yaitu mereka yang tidak mempergunakan hak pilihnya bukan karena alasan politik, tetapi karena alasan ekonomi, kesibukan dan sebagainya. Kemampuan politik kelompok ini tidak sampai ke tingkat analisis, melainkan hanya sampai tingkat deskriptif saja. Kedua, adalah kelompok golput pilihan. Yaitu mereka yang tidak bersedia menggunakan hak pilihnya dalam pemilu benar-benar karena alasan politik. Misalnya tidak puas dengan kualitas partai politik yang ada. Atau karena mereka menginginkan adanya satu organisasi politik lain yang sekarang belum ada. Maupun karena mereka mengkehendaki pemilu atas dasar sistem distrik, dan berbagai alasan lainnya. Kemampuan analisis politik mereka jauh lebih tinggi dibandingkan golput awam. Golput pilihan ini memiliki kemampuan analisis politik yang tidak Cuma berada pada tingkat deskripsi saja, tapi juga pada tingkat evaluasi.



Tinjauan Penelitian Sebelumnya
            Banyak kajian penelitian sebelumnya yang membahas tentang perilaku masyarakat yang tidak memilih. Salah satunya dilakaukan Tauchid Dwijayanto dengan judul penelitian Fenomena Golput Pada Pilgub Jateng 2008-2013 (Studi Kasus Masyarakat Golput Kota Semarang) Berdasarkan hasil penelitianan yang dilakukan oleh Tauchid Dwijayanto ada tiga faktor utama yang menyebabkan tingginya angka golput dalam Pilgub Jateng 2008-2013 di Kota Semarang yaitu:
1.      Masih lemahnya sosialisasi tentang Pilgub Jawa Tengah. Dari temuan penelitian tersebut di tegaskan bahwa Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Pemerintah Kota Semarang serta Komisi Pemilihan Umum (KPU) dinyatakan masih sangat kecil peranannya dalam rangka mensosialisasikan pengetahuan tentang pelakasanaan Pemilihan Gubernur Jawa Tengah.
2.      Masyarakat lebih mementingkan kebutuhan ekonomi. Tauchid Dwijayanto  mengatakan bahwa maka mayoritas responden lebih memilih untuk bekerja dari pada datang ke TPS memberikan suara, karena faktor ekonomi dimana masyarakat lebih memilih bekerja dari pada hilang pengasilannya dari pada hadir di TPS yang berdampak pada berkurangnya penghasilan, sementara tuntutan ekonomi keluarga semakin kuat.
3.      Sikap apatisme terhadap pemilihan gubernur. Hasil temuan penelitian Tauchid Dwijayanto mengatakan mayoritas responden (67%) menganggap bahwa dengan dilaksanakannya Pilgub ini tidak akan membawa perubahan apapun baik terhadap provinsi maupun kehidupan mereka. Menurut mereka perhelatan semacam Pilgub ini hanyalah sebuah rutinitas politik saja tanpa menjanjikan suatu perubahan yang berarti.
            Peneliti lain yang membahas tentang fenomoena golput adalah Efniwati, penelitiannya berjudul Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penggunaan Hak Pilih pada Pemilihan Presiden 2009 di Kota Dumai (Studi Kasus di Kecamatan  Dumai Timur dan Kecamatan Sei. Sembilan). Temuan kajian Efniwati yang dilakukan di dua kelurahan di Kota Dumai untuk perilaku masyarakat tidak memilih menunjukkan ada dua faktor yang kuat mempengaruhi masyarakat. Faktor pekerjaan responden adalah faktor yang paling dominan mempengaruhi pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya di Kelurahan Sukajadi yaitu sebesar 16,9%, sedangkan di Kelurahan Bangsal Aceh faktor lokasi TPS (X12) adalah foktor yang paling dominan mempengaruhi pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya pada Pilpres 2009  yaitu sebesar 15,9%.
            Hingga saat ini, ada sejumlah penjelasan yang dikemukakan oleh para pengamat atau penyelenggara Pemilu tentang penyebab adanya Golput. Pertama, administratif. Seorang pemilih tidak ikut memilih karena terbentur dengan prosedur administrasi seperti tidak mempunyai kartu pemilih, tidak terdaftar dalam daftar pemilih dan sebagainya. Kedua, teknis. Seseorang memutuskan tidak ikut memilih karena tidak ada waktu untuk memilih seperti harus bekerja di hari pemilihan, sedang ada keperluan, harus ke luar kota di saat hari pemilihan dan sebagainya. Ketiga, rendahnya keterlibatan atau ketertarikan pada politik (political engagement). Seseorang tidak memilih karena tidak merasa tertarik dengan politik, acuh dan tidak memandang Pemilu atau Pilkada sebagai hal yang penting. Keempat, kalkulasi rasional. Pemilih memutuskan tidak menggunakan hak pilihnya karena secara sadar memang memutuskan untuk tidak memilih. Pemilu legislatif dipandang tidak ada gunanya, tidak akan membawa perubahan berarti. Atau tidak ada calon kepala daerah yang disukai dan sebagainya (Eriyanto ; 2007).

2.2 PEMBAHASAN
1. Pengertian
            Politik merupakan salah satu sarana interaksi atau komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat sehingga apapun program yang akan dilaksanakan oleh pemerintah sesuai dengan keinginan-keinginan masyarakat dimana tujuan yang dicita-citakan dapat dicapai dengan baik.
            Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah.
            Pemilihan umum merupakan sarana yang bersifat demokratis untuk membentuk sistem kekuatan negara yang berkedaulatan rakyat dan permusyawaratan perwakilan yang digariskan oleh Undang-Undang Dasar negara.
            Golput adalah mereka yang dengan sengaja dan dengan suatu maksud dan tujuan yang jelas menolak memberikan suara dalam pemilu.

2. Analisa Penyebab Golput
            Berdasar pemaparan secara teoritis dan tinjauan penelitian sebelumnya ada perbedaan pendapat para ahli dan temuan hasil penelitian tentang fenomena golput.  Menurut David Moon ada perilaku non-voting yaitu pertama, menekankan pada karakteristik sosial dan psikologi pemilih serta karakteristik institusional sistem pemilu; dan kedua, menekankan pada harapan pemilih tentang keuntungan dan kerugian atas keputusan mereka untuk hadir atau tidak hadir memilih.
            Merujuk pedapat Arbi Sanit golput dapat diklasifikasi menjadi tiga yaitu Pertama, menusuk lebih dari satu gambar partai. Kedua , menusuk bagian putih dari kartu suara. Ketiga, tidak mendatangi kotak suara dengan kesadaran untuk tidak menggunakan hak pilih. Sedangkan menurut Novel Ali dapat di bagi dua kelompok golput awam dan  kelompok golput pilihan. Secara lebih detail diuraikan oleh Eep Saefulloh Fatah golput teknis, golput teknis-politis golput politis dan golput ideologis.
            Hasil penelitian Tauchid Dwijayanto dalam kasus pilkada Jawa Tengah ada tiga yang menyebabkan terjadinya golput yaitu lemahnya sosialisasi, masyarakat lebih mementingkan kebutuhan ekonomi dan sikap apatisme masyarakat. Berdasarkan hasil temuan  Efniwati  ada dua hal yang menyebabkan pemilih golput yaitu faktor pekerjaan  dan faktor lokasi TPS. Kemudian Eriyanto mengatakan ada empat alasan mengapa pemilih golput yaitu karena administratif, teknis, rendahnya keterlibatan atau ketertarikan pada politik (political engagement) dan  kalkulasi rasional.
            Berangkat dari penjelasan ini dalam pemahaman penulis faktor yang menyebabkan masyarakat untuk tidak menggunakan hak pilihnya secara sederhana dapat di klasifikasikan kedalam dua kelompok besar yaitu faktor dari internal pemilih dan faktor ekternal. Faktor internal yang penulis maksud adalah alasan pemilih untuk tidak menggunakan hak pilih dalam pemilu bersumber dari dirinya sendiri, sedangkan ekternal alasan tersebut datang dari luar dirinya. Secara terperinci dapat dilihat pada tabel berikut ini
Tabel 1.2. Faktor Internal dan Ekternal Penyabab Pemilih Golput






1.      Faktor Internal
            Tabel di atas menunjukkan tiga alasan yang datang dari individu pemilih yang mengakibatkan mereka tidak menggunakan hak pilih. Diantaranya alasan teknis dan pekerjaan pemilih.
  1. Faktor Teknis
            Faktor teknis yang penulis maksud adalah adanya kendala yang bersifat teknis yang dialami oleh pemilih sehingga menghalanginya untuk menggunakan hak pilih. Seperti pada saat hari pencoblosan pemilih sedang sakit, pemilih sedang ada kegiatan yang lain serta berbagai hal lainnya yang sifatnya menyangkut pribadi pemilih. Kondisi itulah yang secara teknis membuat pemilih tidak datang ke TPS untuk menggunakan hak pilihnya.
            Faktor teknis ini dalam pemahaman dapat di klasifikasikan ke dalam dua hal yaitu teknis mutlak dan teknis yang bisa di tolerir. Teknis mutlak adalah kendala yang serta merta membuat pemilih tidak bisa hadir ke TPS seperti sakit yang membuat pemilih tidak bisa keluar rumah. Sedang berada di luar kota. Kondisi yang seperti yang penulis maksud teknis mutlak. Teknis yang dapat di tolerir adalah permasalahan yang sifatnya sederhana yang melakat pada pribadi pemilih yang mengakibat tidak datang ke TPS. Seperti ada keperluan keluarga, merencanakan liburan pada saat hari pemilihan. Pada kasus-kasus seperti ini dalam pemahaman penulis pemilih masih bisa mensiasatinya, yaitu dengan cara mendatangi TPS untuk menggunakan hak pilih terlebih dahulu baru melakukan aktivitas atau keperluan yang bersifat pribadi.
            Pemilih golput yang karena alasan teknis yang tipe kedua ini cenderung tidak mengetahui essensi dari menggunakan hak pilih, sehingga lebih mementingkan kepentingan pribadi dari pada menggunakan pilihnya. Pemilih ideal harus mengetahui dampak dari satu suara yang diberikan dalam pemilu. Hakikatnya suara yang diberikan itulah yang menentukan pemimpin lima tahun mendatang. Dengan memilih pemimpin yang baik berarti pemilih berkontribusi untuk menciptakan masa depan yang lebih baik pula.
  1. Faktor Pekerjaan
            Faktor pekerjaan adalah pekerjaan sehari-hari pemilih. Faktor pekerjaan pemilih ini dalam pemahaman penulis memiliki kontribusi terhadap jumlah orang yang tidak memilih. Berdasarkan data Sensus Penduduk Indonesia tahun 2010 dari 107,41 juta orang yang bekerja, paling banyak bekerja di sektor pertanian yaitu 42,83 juta orang (39,88 persen), disusul sektor perdagangan sebesar 22,21 juta orang (20,68 persen), dan sektor jasa kemasyarakatan sebesar 15,62 juta orang (14,54 persen).
            Data yang hampir sama di Provinsi Kepuluan Riau berdasrakan Data BPS 2010, sebanyak 31,9% penduduk bekerja di sektor industri, sektor jasa kemasyarakatan sebesar 20,7%, sektor perdagangan sebesar 18,18% dan pertanian dan perkebunan 13,5%.
            Data di atas menunjukkan sebagian besar penduduk Indonesia bekerja di sektor informal, dimana penghasilanya sangat terkait dengan intensitasnya bekerja. Banyak dari sektor informal yang baru mendapatkan penghasilan ketika mereka bekerja, tidak bekerja berarti tidak ada penghasilan. Seperti tukang ojek, buruh harian, nelayan, petani harian. Kemudian ada pekerjaan masyarakat yang mengharuskan mereka untuk meninggal tempat tinggalnya seperti para pelaut, penggali tambang. Kondisi seperti membuat mereka harus tidak memilih, karena faktor lokasi mereka bekerja yang jauh dari TPS.
            Maka dalam pemahaman penulis faktor pekerjaan cukup singifikan pada pada faktor internal membuat pemilih untuk tidak memilih. Pemilih dalam kondisi seperti ini dihadapkan pada dua pilihan menggunakan hak pilih yang akan mengancam berkurang penghasilannya atau pergi bekerja dan tidak memilih.
2.      Faktor Eksternal
            Faktor ektenal faktor yang berasal dari luar yang mengakibatkan pemilih tidak menggukan hak pilihnya dalam pemilu. Ada tiga yang masuk pada kategori ini menurut pemilih yaitu aspek administratif, sosialisasi dan politik.
a.      Faktor Administratif
            Faktor adminisistratif adalah faktor yang berkaitan dengan aspek adminstrasi yang mengakibatkan pemilih tidak bisa menggunakan hak pilihnya. Diantaranya tidak terdata sebagai pemilih, tidak mendapatkan kartu pemilihan tidak memiliki identitas kependudukan (KTP). Hal-hal administratif seperti inilah yang membuat pemilih tidak bisa ikut dalam pemilihan. Pemilih tidak akan bisa menggunakan hak pilih jika tidak terdaftar sebagai pemilih. Kasus pemilu legislatif 2009 adalah buktinya banyaknya masyarakat Indonesia yang tidak bisa ikut dalam pemilu karena tidak terdaftar sebagai pemilih. Jika kondisi yang seperti ini terjadi maka secara otomatis masyarakat akan tergabung kedalam kategori golput.
            Faktor berikut yang menjadi penghalang dari aspek administrasi adalah permasalahan kartu identitas. Masih ada masyarakat tidak memilki KTP. Jika masyarakat tidak memiliki KTP maka tidak akan terdaftar di DPT (Daftar Pemimilih Tetap) karena secara administtaif KTP yang menjadi rujukkan dalam mendata dan membuat DPT. Maka masyarakat baru bisa terdaftar sebagai pemilih menimal sudah tinggal 6 bulan di satu tempat.
b.      Sosialisasi
            Sosialisasi atau menyebarluaskan pelaksanaan pemilu di Indonesia sangat penting dilakukan dalam rangka memenimalisir golput. Hal ini di sebabkan intensitas pemilu di Indonesia cukup tinggi mulai dari memilih kepala desa, bupati/walikota, gubernur pemilu legislatif dan pemilu presiden hal ini belum dimasukkan pemilihan yang lebih kecil RT/ RW.
            Kondisi lain yang mendorong sosialisi sangat penting dalam upaya meningkatkan partisipasi politik masyarakat adalah dalam setiap pemilu  terutama pemilu di era reformasi selalu diikuti  oleh sebagian peserta pemilu yang berbeda. Pada Pemilu 1999 diikuti sebanyak 48 partai politik, pada pemilu 2004 dikuti oleh 24 partai politik dan pemilu 2009 dikuti oleh 41 partai politik nasional dan 6 partai politik lokal di Aceh. Kondisi ini menuntut perlunya sosialisasi terhadap masyarakat. Permasalahan berikut yang menuntut perlunya sosialisasi adalah mekanisme pemilihan yang berbeda antara pemilu sebelum reformasi dengan pemilu sebelumnya. Dimana pada era orde baru hanya memilih lambang partai sementara sekarang selian memilih lambang juga harus memilih nama salah satu calon di pertai tersebut. Perubahan yang signifikan adalah pada pemilu 2009 dimana kita tidak lagi mencoblos dalam memilih tetapi dengan cara menandai.
c.       Faktor Politik
            Faktor politik adalah alasan atau penyebab yang ditimbulkan oleh aspek politik masyarakat tidak mau memilih. Seperti ketidak percaya dengan partai, tak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tak percaya bahwa pileg/pilkada akan membawa perubahan dan perbaikan. Kondisi inilah yang mendorong masyarakat untuk tidak menggunakan hak pilihnya.
              Banyak yang mengira bahwa orang-orang yang memilih golput adalah sekelompok orang yang kurang memiliki kepedulian pada kehidupan bangsa. Padahal bukan itu sebenarnya yang ada di hati mereka. Pada beberapa pemilihan pemimpin terdahulu mereka bersikap skeptis karena memandang bahwa tidak akan ada bedanya siapapun yang memimpin suatu daerah karena ketidaktersediaan calon pemimpin yang akan mampu memberikan perubahan. Setiap calon hanyalah orang-orang berkualitas sama. Janji-janji yang dilontarkan luar biasa muluk sehingga secara logika susah dicerna akal bagaimana cara mereka akan memenuhinya nanti. Bagi pemimpin model ini yang penting terpilih dulu, soal janji pikir belakangan. Semua mengklaim bahwa mereka adalah yang terbaik tanpa didukung bukti nyata. Tidak memiliki semangat menentang arus besar kapitalisme dan keberpihakan kepada perekonomina rakyat kecil.
            Stigma politik itu kotor, jahat, menghalalkan segala cara dan lain sebagainya memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap politik sehingga membuat masyarakat enggan untuk menggunakan hak pilih. Stigma ini terbentuk karena tabiat sebagian politisi yang masuk pada kategori politik instan. Politik dimana baru mendekati masyarakat ketika akan ada agenda politik seperti pemilu. Maka kondisi ini meruntuhkan kepercayaan masyarakat pada politisi.
            Faktor lain adalah para politisi yang tidak mengakar, politisi yang dekat dan memperjuangkan aspirasi rakyat. Sebagian politisi lebih dekat dengan para petinggi partai, dengan pemegang kekuasaan. Mereka lebih menngantungkan diri pada pemimpinnya di bandingkan mendekatkan diri dengan konstituen atau pemilihnya. Kondisi lain adalah tingkah laku politisi yang banyak berkonflik mulai konflik internal partai dalam mendapatkan jabatan strategis di partai, kemudian konflik dengan politisi lain yang berbeda partai. Konflik seperti ini menimbulkan anti pati masyarakat terhadap partai politik. Idealnya konflik yang di tampilkan para politisi seharusnya tetap mengedepankan etika politik (fatsoen).
            Politik pragamatis yang semakin menguat, baik dikalangan politisi maupun di sebagian masyarakat. Para politisi hanya mencari keuntungan sesaat dengan cara mendapatkan suara rakyat. Sedangan sebagian masyarakat kita, politik dengan melakukan transaksi semakin menjadi-jadi. Baru mau mendukung, memilih jika ada mendapatkan keutungan materi, maka muncul ungkapan kalau tidak sekarang kapan lagi, kalau sudah jadi/terpilih mereka akan lupa janji. Kondisi-kondisi yang seperti penulis uraikan ini yang secara politik memengaruhi masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya. Sebagian Masyarakat semakin tidak yakin dengan politisi. Harus diakui tidak semua politisi seperti ini, masih banyak politisi yang baik, namun mereka yang baik tenggelam dikalahkan politisi yang tidak baik.
              Masyarakat yang sudah putus asa dan kecewa dengan pemerintah, mungkin dengan alasan karena pemerintah yang lembek atau tidak tegas, kinerja buruk dan banyak hal lain yang bisa dijadikan mindset untuk kecewa dengan pemerintah. Dalam Islam, putus asa adalah dosa. Memang pemerintah banyak masalah, akan tetapi mereka tetap bekerja untuk lebih baik dari hari ke hari. Bayangkan apabila masyarakat Golput semua, siapa yang memegang pemerintahan selanjutnya???. Pemegangnya tetap pemerintah yang lama dan akibatnya pasti akan muncul konflik bersaudara karena tidak adanya pemimpin yang dapat diandalkan, kemudian selanjutnya militerlah yang menjadi pemimpin, apakah masyarakat mau kita dalam kondisi caos seperti di Mesir dan daerah lain???. Betapa kondisi saat ini lebih baik dari pada kondisi apabila Indonesia caos???. Mungkin masyarakat yang membanggakan Golput pikirannya tidak sampai kepada hal ini/kondisi ini, untuk itu saya mengajak mereka untuk berpikir lebih cerdas dalam memandang masalah.
              Partai yang tidak lolos verifikasi mengajak rakyat untuk golput. Apakah partai tersebut partai yang sudah bener 100%??? Artinya kalau tidak ada partai itu maka negara atau pemerintahan ini hancur atau tidak beres???, Menurut saya partai seperti itu adalah partai sampah, menghasut masyarakat untuk kepentingan sendiri. Seperti cerita anak kecil yang ngambek tidak dibelikan mainan, dan dia tidak bisa menerima alasan dengan cerdas, artinya partai ini partai yang diisi oleh orang-orang yang tidak cerdas, apakah anda mau memilih, apabila di 2019 mereka lolos verifikasi???
              Sekumpulan atau segolongan masyarakat yang keinginannya tidak terpenuhi, dan mereka mengancam akan golput apabila tidak dipenuhi. Seperti anak kecil yang mengancam mamanya untuk tidak mau makan apabila tidak dibelikan mainan yang dimintanya, merengek-rengek dan menangis. Anak tersebut tidak bisa diajak berbicara dengan cara cerdas, menerima alasan (mungkin) orang tuanya sedang tidak punya uang atau memiliki halangan lainnya.
Dalam hal ini, mereka bisa mengajak masyarakat lainnya untuk berdemo, dengan membayar beberapa uang per hari per orang. Bayangkan seribu orang berdemo di depan Istana Presiden selama 6 hari, (@Rp.50.000 per orang per hari X 10.000 Orang, X 6 hari), maka dengan hanya  Rp.3.000.000.000,- dampaknya dapat menggagalkan pemilu yang anggaranya 47 T, dan karena gagal akibat pemilu dianggap tidak memenuhi syarat maka pemilu akan diulang lagi dengan dana yang kurang lebih sama. Golput atau tidaknya masyarakat, tidak akan mengurangi anggaran biaya yang dikeluarkan dalam sebuah proses pemilihan baik pilkada atau pemilu. Hal ini justru akan membuat biaya yang dikeluarkan negara menjadi mubazir, terutama biaya pengadaan sarana dan prasarananya. Kemudian semakin banyak golput akan membuat hasil pemilihan semakin tidak akurat dan memperbesar peluang diadakannya pemilihan ulang. Artinya akan diperlukan biaya tambahan yang cukup besar untuk mengadakan pemilihan ulang. Biaya yang seharusnya bisa dialokasikan untuk membantu rakyat miskin baik untuk biaya pendidikan dan kesehatan akan habis digunakan untuk membiayai sebuah pemilihan ulang.
              Masyarakat yang menganggap bahwa Golput merupakan bentuk sikap protes kepada negara atau pemerintah. Ingat ada atau tidak ada suara dari si Golput, tetap akan ada pemenang dan pemerintahan tetap akan berjalan, dan sikap protes ini sama sekali tidak akan berpengaruh apapun, kecuali bagi orang yang sengaja melahirkan atau menciptakan mindset golput karena alasan-alasan pribadi/golongan (mungkin beberapa alasan diatas).
              Partai politik secara fungsional berperan sebagai sarana pendidikan politik,sosialisasi politik dan artikulasi kepentingan.Namun,jelang pemilihan umum 2014 peran-peran konseptual itu,ini jelas tidak sesederhana seperti yang masyarakat pikirkan karena partai politik saat ini dihadapkan dengan kenyataan pemilih yang lebih cenderung memilih karena berapa besar bantuan yang bakal mereka terima dari calon legislatif yang diusung partai politik.Dan fakta politik pada pemilihan umum 2009 tidak sedikit modal finansial yang dikeluarkan calon legislative. Partai politik dihadapkan dengan fenomena politisi yang berkualitas tapi tidak punya finansial yang kuat dan politisi yang punya modal kuat tapi tidak berkualitas.Disinilah fleksibilitas politik itu dimainkan,dan penulis berharap kedua hal itu bisa bersinergi dengan baik.
              Pemilihan umum dengan partai politik merupakan dua konsep yang tidak bisa dipisahkan.pemilihan umum membutuhkan partai politik sebagai pesertanya.sedangkan partai politik membutuhkan pemilihan umum sebagai sarana memilih wakil-wakilnya yang akan duduk dalam legislatif maupun kabinet.
              Dewasa ini partai politik seakan tidak berjalan dengan fungsinya bahkan menyimpang hal ini berdampak dalam pemihan umum yang bisa jadi membuat rakyat pesimis dikarenakan sejumlah kasus dugaan korupsi yang menyeret nama kader-kader partai besar.sebut saja politisi Partai Demokrat yaitu M Nazarudin,Angelina Sondakh,Hartati Murdaya dan ketua umum Anas urbaningrum,dari Golkar ada Zulkarnaen Djabar yang tersandung kasus korupsi pengadaan Al Quran,ada juga mantan presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq yang menjadi tersangka kasus dugaan suap impor daging sapi.Perilaku korup para politisi ini membuat pilu pemilih menjelang pemilihan umum tahun 2014 yang dikhawatirkan membuat masyarakat malas menggunakan hak pilihnya dan menjadi golongan putih atau golput.
              Tingkat partisipasi rakyat dalam setiap pemilu memiliki kecenderungan menurun ternyata tidak mendorong partai politik untuk memperbaiki kinerjanya,kasus korupsi yang menimpa kader salah satu partai poliik bisa jadi berdampak buruk ke partai lain yang kadernya tidak terjerat kasus korupsi karena respon masyrakat yang mengenaralisasi semua partai politik korupsi dan tinggal nunggu giliran kebongkar.
            Hanya ada dua pilihan yang akan terjadi terkait meerosotnya moral partai dan hubungannya dengan partisipasi pemilu.pertama adalah para pemilih golput atau akan pindah ke lain hati dalam arti partai politik tapi kemungkinan ini kecil karena kekecewaan terhadap partai politik yang berpesan anti korupsi yang ternyata korupsi menimbulkan sifat apatisme terhadap semua parpol.


Alasan Utama yang diangkat untuk GOLPUT:
1. Pemerintah tidak becus mengurus pemerintahan
              Dinegara (umumnya negara berkembang) manapun permasalahan pemerintahan tetap ada, coba hitung jumlah kasus pemerintah daerah kabupaten/kota/propinsi, berapa jumlah yang pemerintah yang bermasalah dan yang tidak bermasalah???.
2. Pemimpin/pejabat banyak yang korup
              Dinegara berkembang manapun korupsi tetap ada, orang yang bejat tetap ada, peluang tersebut yang harus diminimumkan dengan penegakan hukum yang tegas, dan masyarakat memilih orang dengan tepat.
3. Partai banyak yang bermasalah dengan hukum
              Bukan partai yang bermasalah, tetapi orang yang mengisi dan itu tidak semua, ingat tidak semua, makanya mulai sekarang cerdaslah dalam memilih, jangan mau memilih hanya karena uang Rp.50.000 atau Rp.100.000.

  1. Solusi
              Golput dalam pemilu perlu diminimalisir dengan memahami akar permasalahan yang menyebabkan. Jika golput disebabkan kurangnya sosialisasi yang dilakukan pihak penyelenggara dan pemberikan pendidikan politik oleh setiap partai politik, maka diperlukan langkah bijak dari para politisi dan KPU untuk terus melakukan sosialisasi pendidikan politik. Peningkatan jumlah golput jenis ini dalam pemilihan umum sebaiknya dapat menjadi bahan interospeksi bagi partai politik dan KPU, untuk bisa memperbaiki setiap tahapan pemilihan mulai pendataan pemilih hingga sosialisasi.
              Golput yang diakibat oleh faktor administratif ini bisa diminimalisir jika para petugas pendata pemilih melakukan pendataan secara benar dan maksimal untuk mendatangi rumah-rumah pemilih. Selain itu dituntut inisiatif masyarakat untuk mendatangi petugas pendataan untuk mendaftarkan diri sebagai pemilih. Langkah berikutnya DPS (Daftar Pemilih Sementara) harus tempel di tempat-tempat strategis agar bisa dibaca oleh masyarakat. Masyarakat juga harus berinisiatif melacak namanya di DPS, jika belum terdaftar segara melopor ke pengrus RT atau petugas pendataan.  Langkah berikut untuk menimalisir terjadi golput karen aspek adminitrasi adalah dengan memanfaatkan data kependudukan berbasis IT. Upaya elektoronik Kartu Tanda Penduduk (E KTP) yang dilakukan pemerintahan sekarang dalam pandangan penulis sangat efektif dalam menimalisir golput administratif.
              Golput jika alasannya hanya karena faktor malas atau tingkat kesibukan dalam beraktivitas, maka tingkat kesadaran akan tanggung jawab kebangsaan dan kenegaraan perlu diberikan. Kelompok jenis ini adalah kelompok a-politis yang perlu disadarkan. Terlepas dari itu semua penduduk di Indonesia sebagai besar berada di pedesaan maka menyebar luaskan informasi pemilu dinilai pentingi, apalagi bagi masyarakat yang jauh dari akses transportasi dan informasi, maka sosiliasi dari mulut ke mulut menjadi faktor kunci mengurangi angka golput.
              Golput karena merasa calon pemimpin yang ada, dianggap kurang kredibel juga akan merugi. Karena dengan golput seperti ini akan terpilih calon pemimpin yang tidak diinginkan, jika karena calon yang ada mengobral janji yang muluk-muluk yang tidak mungkin direalisasikan sudah tentu partai politik bisa memperbaiki recruitment kadernya.
              Golput jika karena tidak ada yang bayar, atau mencoblos karena membela yang bayar. Na’udzubillah…wana’udzubillah. Ampunilah kami Ya Tuhan dan semoga kita semua adalah orang yang beriman. Amiin.
              Masyarakat yang merasa tidak ada pilihan pemimpin yang bagus yang dapat dipilih, atau tidak ada yang sesuai dengan keinginan masyarakat, sehingga mereka merasa tidak ada artinya memilih siapapun. Ingat tidak ada yang sempurna di dunia ini, apabila kita fokus pada kejelekan orang maka yang tampak adalah kejelekannya saja, dan sama sekali orang tersebut tidak ada kebaikannya sama sekali. Kita harus cerdas dalam berpikir, kemungkinan kejelekan-kejelekan calon tersebut sengaja dihembuskan oleh lawan-lawan pilihnya. Cobalah berpikir, anda pun apabila menjadi pemimpin belum tentu menjadi pemimpin yang baik, apalagi yang terbaik??? Mungkin juga calon yang ikut adalah calon atau orang yang tidak kita kenal sebelumnya, maka solusinya adalah segera carilah referensi tentang orang-orang tersebut. Cara mudahnya, misalnya ada dua calon si “a” dan si “b”, maka tanyakan kepada pendukung si “b” tentang kejelekan dan kebaikan si “a”, dan sebaliknya tanyakan kepada pendukung si “a”, tentang kebaikan dan kejelekan si “b”, insyaallah anda akan mendapatkan jawaban yang lebih obyektif dan adil. Coba belajarlah berpikir dari kondisi keterbatasan yang telah ada, diantara pilihan-pilihan tersebut pasti ada yang menjadi pemimpin yang terpilih untuk memimpin, maka berpikirlah untuk berpikir dari pada si “a”, lebih baik si”b”, dan dari pada si “b” lebih baik si “c”, maka putuskanlah yang terbaik bagi anda??? itu adalah cara berpikir dalam manajemen resiko, kita berusaha meminimalkan resiko, bukan menghilangkan resiko, karena kita harus sadar bahwa siapapun dan apapun usaha kita tetap ada resiko.
              Ada beberapa hal yang harus masyarakat kawal jelang setahun pemilihan umum 2014 nanti dikelar. Pertama,partai poltik, masyrakat harus mampu mendorong partai politik agar tidak mencalonkan politisi busuk menjadi calon legislatif dan diharapkan partai politik mencalonkan orang-orang yang punya moralitas dan integritas sebagai calon legislatifnya atau caleg berkualitas. Kedua, menjadi pemilih cerdas,menjadi pemilih cerdas pada pemilihan umum 2014 nanti bukanlah pilihan tapi sudah menjadi suatu keseharusan. Kita bisa lihat bagaimana pada pemilihan umum 2009 yang lalu kita dengan mudah terbuai oleh janji-janji politik para politisi tanpa melihat apa yang telah mereka perbuat hari ini selain kunjungan kerja keluar daerah dan luar negeri, yang menyakitkan sebagian dari mereka juga jarang turun kemasyarakat sehingga tidak mampu menghasilkan aturan-aturan yang berpihak terhadap masyarakat. Kini sudah saatnya kita menjadi pemilih cerdas yang mampu memilah sebelum memilih.
              Inilah saat yang tepat bagi kaum golput untuk mengambil peran. Saatnya untuk menunjukkan bahwa orang-orang yang dulu memilih golput pada dasarnya memiliki kepedulian yang tinggi terhadap kemajuan bangsa. Golput umumnya didominasi oleh orang-orang yang memiliki sikap kritis di atas rata-rata. Bagi mereka pemilihan pemimpin suatu wilayah harus menghasilkan perubahan positif. Tanpa harapan itu lebih baik mereka tidur di rumah dari pada membuang-buang energi dan secara tidak langsung malah ikut bertanggungjawab terhadap kerusakan suatu daerah akibat salah memilih pemimpin.
              Bagi mereka memilih seorang pemimpin bukanlah tindakan main-main. Sesering apapun iklan di televisi, sekotor apapun tembok-tembok di seluruh kota dia kotori dengan gambarnya, selebar apapun baliho yang dia pasang tidak akan bisa mempengaruhi persepsi mereka terhadap seseorang. Mereka adalah orang-orang yang berpikir logis dan hanya percaya jika ada bukti, bukan janji apalagi promosi. Golongan ini menuntut bahwa seorang calon pemimpin harus memenuhi kriteria:
1. Prestasinya sudah terbukti dan diakui secara nasional maupun intenasional, bukan terkenal karena karbitan.
2. Dicintai oleh sebagian besar rakyatnya, bukan dicaci apalagi dimusuhi.
3. Program kerjanya logis dan terbukti pernah sukses diterapkan, bukan hanya janji-janji muluk yang kemudian dilupakan.
4. Kisah suksesnya sudah sering muncul di media masa jauh sebelum pemilihan dilakukan, bukan merupakan iklan dadakan yang dibuat tergesa-gesa untuk keperluan kampanye.



BAB 3
PENUTUP

            Angka masyarakat yang tidak memilih atau golput dari pemilu ke pemilu terus meningkat. Dari pembahasan tulisan ini tergambar setidaknya ada lima faktor yang membuat orang  tidak memilih mulai dengan faktor teknis dan pekerjaan merupakan faktor internal serta faktor ekternal yang terdiri dari administratif, sosialisasi dan politik. Kelima faktor  ini berkontribusi terhadap meningkatnya angka golput. Harus ada upaya yang maksimal untuk memenimalisir meningkatnya angka masyarakat yang tidak memilih dalam pemilu. Karena kualitas pemilu secara tidak langsung juga dilihat dari legitimasi pemimpin yang terpilih. Semakin kuat dukungan rakyat semakin kuatlah tingkat kepercayaan rakyat.







DAFTAR PUSTAKA

Budiarjo, Miriam, Partisipasi dan Partai Politik, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta 1986
Kansil, C.S.T Drs. S.H, Memilih dan Dipilih, Pradnya Paramita, Jakarta 1986
http://politik.kompasiana.com/2012/07/08/kala-para-pendekar-golongan-putih-turun-gunung-476275.html
JURNAL-ILMU-PEMERINTAHAN-BARU-KOREKSI-last_57_66