1 Mei 2013
Makalah Perspektif Global
PARTISIPASI
POLITIK
Menganalisis
Terjadinya GOLPUT di Indonesia
Diajukan guna memenuhi tugas mata
kuliah Perspektif Global
Kelompok 6
1. Diana
Setia Rahayu (120210204027)
2. Arifah
Dianah (120210204059)
3. Aristya
Ayu Syafitri (120210204109)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat
Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya kami dapat menyelesikan tugas
mata kuliah Perspektif Global dengan judul “Menganalisis Terjadinya GOLPUT di
Indonesia“dengan baik.
Kami menyampaikan
terimakasih kepada dosen pembimbing kami yang telah membimbing kami. Tak lupa
kami menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada orang tua yang
dengan sabar mendidik dan selalu mendukung kami. Juga kepada teman-teman yang
telah membantu terselesaikannya makalah ini.
Penulis berharap semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Penulis telah mengerjakan makalah
ini dengan sebaik-baiknya, tetapi sebagaimana hakikat manusia sebagai makhluk
ciptaan Tuhan yang tidak sempurna maka, penulis meminta maaf yang
sebesar-besarnya apabila dalam makalah ini masih terdapat kesalahan dalam
penulisannya.
Kritik dan saran yang
membangun sangat kami harapkan demi lebih baiknya makalah ini dan makalah yang
selanjutnya. Terimakasih.
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.................................................................................................................. i
Daftar Isi........................................................................................................................... ii
BAB 1. Pendahuluan......................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang............................................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................... 1
1.3 Tujuan........................................................................................................................ 1
BAB
2 Isi......................................................................................................................... 2
2.1
Tinjauan Teori ............................................................................................................ 2
2.2
Pembahasan................................................................................................................ 9
BAB
3. Penutup.............................................................................................................. 22
Daftar
Pustaka.................................................................................................................. iii
BAB
1
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Tiada henti-hentinya bila kita
membahas tentang politik, apalagi di era globalisasi seperti sekarang ini.
Globalisasi membawa dampak yang sangat berpengaruh dalam politik di Indonesia.
Seperti yang kita tahu Indonesia merupakan negara yang demokratis, oleh karena
itu partisipasi masyarakat, utamanya dalam politik sangat diperlukan untuk
membentuk suatu pemerintahan. Suatu bentuk partisipasi yang agak mudah untuk
diukur intensitasnya adalah perilaku warga negara dalam pemilihan umum antara
lain melalui perhitungan persentase orang yang menggunakan hak pilihnya
dibanding dengan jumlah warga negara yang berhak memilih. Salah satu
permasalahan yang cukup fenomenal di dalam pemilihan umum yaitu adanya Golongan
Putih yang kerap disebut “GOLPUT”.
“GOLPUT” merupakan kata yang tak asing
lagi di telinag masyarakat. Bahkan sekarang jumlah Warga Negara yang melakukan
GOLPUT menurut lembaga survey semakin meningkat. Hal ini diakibatkan banyak faktor
dan sampai saat ini banyak solusi yang telah dilakukan tetapi dalam
kenyataannya jumlah orang yang melakukan GOLPUT masih saja terus meningkat.
Bila hal ini terus terjadi, tidak menutup kemungkinan akan mengantarkan Negara
ini ke dalam kehancuran.
1.2
RUMUSAN MASALAH
- Apa pengertian dari politik, partisipasi politik, pemilu dan golput?
- Apa penyebab terjadinya golput?
- Bagaimana solusi yang bisa dilakukan untuk mengatasi terjadinya golput?
1.3
TUJUAN
- Mengetahui pengertian dari politik, partisipasi politik, pemilu dan golput
- Mengetahui penyebab terjadinya golput
- Dapat memberikan solusi untuk mengatasi terjadinya golput
BAB
2
ISI
2.1 TINJAUAN TEORI
“Politik adalah interaksi antara
pemerintah dan masyarakat dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan
keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam
suatu wilayah tertentu” (Ramlan Surbakti, 1991). “Politik adalah salah satu
perjuangan untuk memperoleh kekuasaan atau sebagai tekhnik menjalankan
kekuasaan” (F. Isjwara, 1995). “Politik adalah aktivitas perilaku atau proses
yang menggunakan kekuasaan untuk menegakkan peraturan-peraturan dan
keputusan-keputusan yang sah berlaku di tengah masyarakat” (Kartini Kartono,
1996). Menurut definisi di atas dapat disimpulkan bahwa politik merupakan salah
satu sarana interaksi atau komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat
sehingga apapun program yang akan dilaksanakan oleh pemerintah sesuai dengan
keinginan-keinginan masyarakat dimana tujuan yang dicita-citakan dapat dicapai
dengan baik.
Dalam
analisis politik modern partisipasi politik merupakan suatu masalah yang
penting, dan akhir-akhir ini banyak dipelajari terutama pada hubungannya dengan
negara-negara yang sedang berkembang.
Apakah yang dinamakan partisipasi
politik itu? Sebagai definisi umum dapat dikatakan bahwa partisipasi politik
adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif
dalam kehidupan politik yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara dan secara
langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah. Kegiatan ini
mencakup kegiatan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri
rapat umum, menjadi anggota suatu partai, mengadakan hubungan dengan pejabat
pemerintah atau anggota parlemen, dan sebagainya. Untuk lebih jelasnya, dibawah
ini disajikan pendapat beberapa sarjana.
“Partisipasi politik adalah
kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil
bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung dan tidak langsung,
dalam proses pembentukan kebijakan umum” (The term “political participation”
will refer to those voluntary activities by which members of a society share in
the selection of rulers and, directly or indirectly, in the formation of public
policy). Herbert McClosky (1972 dalam Miriam Budiardjo, 1998: 2)
“Partisipasi politik adalah kegiatan
pribadi warga negara yang legal yang sedikit banyak langsung bertujuan untuk
mempengaruhi seleksi pejabat-pejabat negara dan/atau tindakan-tindakan yang
diambil oleh mereka” (By political participation we refer to those legal activities
by private citizens which are more or less directly aimed at influencing the selection
of governmental personnel and/or the action they take). Norman H. Nie dan
Sidney Verba (1975 dalam Miriam Budiardjo, 1998: 2)
“Partisipasi politik adalah kegiatan
warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk
mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat
individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis,
secara damai atau kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif” (By
political participation we mean activity by private citizens designed to
influence government decision-making. Participation may be individual or
collective, organized or spontaneous, sustained or sporadic, peaceful or
violent, legal or illegal, effective or ineffective). Samuel P. Huntington dan
Joan M. Nelson (1977 dalam Miriam Budiardjo, 1998: 3)
Di negara demokratis pemikiran yang
mendasari konsep partisipasi politik ialah kedaulatan ada ditangan rakyat, yang
dilaksanakan melalui kegiatan bersama untuk menetapkan tujuan-tujuan serta masa
depan masyarakat itu dan untuk menentukan orang-orang yang akan memegang tumpuk
pimpinan. Anggota masyarakat yang berpartisipasi dalam proses politik misalnya
melalui pemberian suara atau kegiatan lain, terdorong oleh keyakinan bahwa
melalui kegiatan bersama itu kepentingan mereka akan tersalur dan mereka
sedikit banyak dapat mempengaruhi tindakan mereka yang berwenang untuk membuat
keputusan yang mengikat. Dalam Negara demokratis, umumnya dianggap bahwa lebih
banyak partisipasi mesyarakat, lebih baik. Sebaliknya, tingkat partisipasi yang
rendah pada umumnya dianggap sebagai tanda yang kurang baik, karena diartikan
bahwa warga negara tidak menaruh perhatian terhadap masalah kenegaraan. Lagi
pula, dikhawatirkan bahwa jika berbagai pendapat kurang mendapat kesempatan
untuk dikemukakan, pimpinan negara akan kurang tanggap terhadap kebutuhan dan
aspirasi masyarakat dan cenderung untuk melayani kepentingan kelompok saja.
Suatu
bentuk partisipasi yang agak mudah untuk diukur intensitasnya adalah perilaku warga
negara dalam pemilihan umum antara lain melalui perhitungan persentase orang
yang menggunakan hak pilihnya dibanding dengan jumlah warga negara yang berhak
memilih.
Pemilihan
umum merupakan sarana yang bersifat demokratis untuk membentuk sistem kekuatan
negara yang berkedaulatan rakyat dan permusyawaratan perwakilan yang digariskan
oleh Undang-Undang Dasar negara. Kekuasaan yang lahir dengan pemilihan umum
adalah kekuasaan yang lahir dari bawah menurut kehendak rakyat dan dipergunakan
sesuai dengan keinginan rakyat oleh rakyat, menurut sistem permusyawaratan
perwakilan. Pemerintahan
dari dan untuk rakyat. Melalui pemilu, setidaknya dapat dicapai tiga hal.
Pertama yaitu, lewat pemilu kita dapat menguji hak-hak politik rakyat secara
keseluruhan. Kedua, melalui pemilu kita dapat berharap terjadinya proses
rekrutmen politik secara adil, terbuka, dan kompetitif. Ketiga, dari pemilihan
umum kita menginginkan adanya pergantian kekuasaan dari figur-figur pejabat
publik yang lebih baik.
Diadakan
pemilihan umum itu tidak sekedar memilih wakil-wakil rakyat untuk duduk dalam
lembaga permusyawaratan atau perwakilan saja, dan juga tidak memilih
wakil-wakil rakyat untuk menyusun negara baru dengan dasar falsafah negara
baru, tetapi suatu pemilihan wakil-wakil rakyat oleh rakyat yang membawakan isi
hati nurani rakyat dalam melanjutkan perjuangan mempertahankan dan
mengembangkan Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia bersumber pada proklamasi
17 Agustus 1945 guna memenuhi dan mengemban amanat penderitaan rakyat.
Dalam kajian perilaku pemilih hanya
ada dua konsep utama, yaitu; perilaku memilih (voting behavior) dan perilaku
tidak memilih (non voting behavior). David Moon mengatakan ada dua pendekatan
teoritik utama dalam menjelaskan prilaku non-voting yaitu: pertama, menekankan
pada karakteristik sosial dan psikologi pemilih dan karakteristik institusional
sistem pemilu; dan kedua, menekankan pada harapan pemilih tentang keuntungan
dan kerugian atas keputusan mereka untuk hadir atau tidak hadir memilih (dalam
Hasanuddin M. Saleh;2007). Istilah golput muncul pertama kali menjelang pemilu
pertama zaman Orde Baru tahun 1971. Pemakarsa sikap untuk tidak memilih itu,
antara lain Arief Budiman, Julius Usman dan almarhum Imam Malujo Sumali.
Langkah mereka didasari pada pandangan bahwa aturan main berdemokrasi tidak
ditegakkan, cenderung diinjak-injak (Fadillah Putra ;2003 ; 104). Golput
menurut Arif Budiman bukan sebuah organisasi tanpa pengurus tetapi hanya
merupakan pertemuan solidaritas (Arif Budiman). Sedangkan Arbi Sanit mengatakan
bahwa golput adalah gerakan protes politik yang didasarkan pada segenap problem
kebangsaan, sasaran protes dari dari gerakan golput adalah penyelenggaraan
pemilu. Mengenai golput alm. KH. Abdurrahaman Wahid pernah mengatakan “ kalau
tidak ada yang bisa di percaya, ngapain repot- repot ke kotak suara? Dari pada
nanti kecewa (Abdurrahamn Wahid, dkk, 2009; 1). Sikap orang-orang golput,
menurut Arbi Sanit dalam memilih memang berbeda dengan kelompok pemilih lain
atas dasar cara penggunaan hak pilih. Apabila pemilih umumnya menggunakan hak
pilih sesuai peraturan yang berlaku atau tidak menggunakan hak pilih karena
berhalangan di luar kontrolnya, kaum golput menggunakan hak pilih dengan tiga
kemungkinan. Pertama, menusuk lebih dari satu gambar partai. Kedua ,menusuk
bagian putih dari kartu suara. Ketiga, tidak mendatangi kotak suara dengan
kesadaran untuk tidak menggunakan hak pilih. Bagi mereka, memilih dalam pemilu
sepenuhnya adalah hak. Kewajiban mereka dalam kaitan dengan hak pilih ialah
menggunakannya secara bertanggungjawab dengan menekankan kaitan penyerahan
suara kepada tujuan pemilu, tidak hanya membatasi pada penyerahan suara kepada
salah satu kontestan pemilu (Arbi Sanit ; 1992) Jadi berdasarkan hal di atas,
golput adalah mereka yang dengan sengaja dan dengan suatu maksud dan tujuan
yang jelas menolak memberikan suara dalam pemilu. Dengan demikian, orang-orang
yang berhalangan hadir di Tempat Pemilihan Suara (TPS) hanya karena alasan
teknis, seperti jauhnya TPS atau terluput dari pendaftaran, otomatis
dikeluarkan dari kategori golput. Begitu pula persyaratan yang diperlukan untuk
menjadi golput bukan lagi sekedar memiliki rasa enggan atau malas ke TPS tanpa
maksud yang jelas. Pengecualian kedua golongan ini dari istilah golput tidak
hanya memurnikan wawasan mengenai kelompok itu, melainkan juga sekaligus
memperkecil kemungkinan terjadinya pengaburan makna, baik di sengaja maupun
tidak. Eep Saefulloh Fatah, mengklasifikasikan golput atas empat golongan.
Pertama, golput teknis, yakni mereka yang karena sebab-sebab teknis tertentu
(seperti keluarga meninggal, ketiduran, dan lain-lain) berhalangan hadir ke
tempat pemungutan suara, atau mereka yang keliru mencoblos sehingga suaranya
dinyatakan tidak sah. Kedua, golput teknis-politis, seperti mereka yang tidak
terdaftar sebagai pemilih karena kesalahan dirinya atau pihak lain (lembaga
statistik, penyelenggara pemilu). Ketiga, golput politis, yakni mereka yang
merasa tak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tak percaya bahwa
pileg/pilkada akan membawa perubahan dan perbaikan. Keempat, golput ideologis,
yakni mereka yang tak percaya pada mekanisme demokrasi (liberal) dan tak mau
terlibat di dalamnya entah karena alasan fundamentalisme agama atau alasan
politik-ideologi lain (dalam Hery M.N. Fathah). Sedangkan menurut Novel
Ali(1999;22)., di Indonesia terdapat dua kelompok golput Pertama, adalah
kelompok golput awam. Yaitu mereka yang tidak mempergunakan hak pilihnya bukan
karena alasan politik, tetapi karena alasan ekonomi, kesibukan dan sebagainya.
Kemampuan politik kelompok ini tidak sampai ke tingkat analisis, melainkan
hanya sampai tingkat deskriptif saja. Kedua, adalah kelompok golput pilihan.
Yaitu mereka yang tidak bersedia menggunakan hak pilihnya dalam pemilu
benar-benar karena alasan politik. Misalnya tidak puas dengan kualitas partai
politik yang ada. Atau karena mereka menginginkan adanya satu organisasi
politik lain yang sekarang belum ada. Maupun karena mereka mengkehendaki pemilu
atas dasar sistem distrik, dan berbagai alasan lainnya. Kemampuan analisis
politik mereka jauh lebih tinggi dibandingkan golput awam. Golput pilihan ini
memiliki kemampuan analisis politik yang tidak Cuma berada pada tingkat deskripsi
saja, tapi juga pada tingkat evaluasi.
Tinjauan Penelitian Sebelumnya
Banyak kajian penelitian sebelumnya
yang membahas tentang perilaku masyarakat yang tidak memilih. Salah satunya
dilakaukan Tauchid Dwijayanto dengan judul penelitian Fenomena Golput Pada
Pilgub Jateng 2008-2013 (Studi Kasus Masyarakat Golput Kota Semarang)
Berdasarkan hasil penelitianan yang dilakukan oleh Tauchid Dwijayanto ada tiga
faktor utama yang menyebabkan tingginya angka golput dalam Pilgub Jateng 2008-2013
di Kota Semarang yaitu:
1.
Masih lemahnya sosialisasi tentang
Pilgub Jawa Tengah. Dari temuan penelitian tersebut di tegaskan bahwa
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Pemerintah Kota Semarang serta Komisi
Pemilihan Umum (KPU) dinyatakan masih sangat kecil peranannya dalam rangka
mensosialisasikan pengetahuan tentang pelakasanaan Pemilihan Gubernur Jawa
Tengah.
2.
Masyarakat lebih mementingkan kebutuhan
ekonomi. Tauchid Dwijayanto mengatakan
bahwa maka mayoritas responden lebih memilih untuk bekerja dari pada datang ke
TPS memberikan suara, karena faktor ekonomi dimana masyarakat lebih memilih
bekerja dari pada hilang pengasilannya dari pada hadir di TPS yang berdampak
pada berkurangnya penghasilan, sementara tuntutan ekonomi keluarga semakin kuat.
3.
Sikap apatisme terhadap pemilihan
gubernur. Hasil temuan penelitian Tauchid Dwijayanto mengatakan mayoritas
responden (67%) menganggap bahwa dengan dilaksanakannya Pilgub ini tidak akan
membawa perubahan apapun baik terhadap provinsi maupun kehidupan mereka.
Menurut mereka perhelatan semacam Pilgub ini hanyalah sebuah rutinitas politik
saja tanpa menjanjikan suatu perubahan yang berarti.
Peneliti lain yang membahas tentang
fenomoena golput adalah Efniwati, penelitiannya berjudul Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Penggunaan Hak Pilih pada Pemilihan Presiden 2009 di Kota Dumai
(Studi Kasus di Kecamatan Dumai Timur
dan Kecamatan Sei. Sembilan). Temuan kajian Efniwati yang dilakukan di dua
kelurahan di Kota Dumai untuk perilaku masyarakat tidak memilih menunjukkan ada
dua faktor yang kuat mempengaruhi masyarakat. Faktor pekerjaan responden adalah
faktor yang paling dominan mempengaruhi pemilih untuk tidak menggunakan hak
pilihnya di Kelurahan Sukajadi yaitu sebesar 16,9%, sedangkan di Kelurahan
Bangsal Aceh faktor lokasi TPS (X12) adalah foktor yang paling dominan
mempengaruhi pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya pada Pilpres
2009 yaitu sebesar 15,9%.
Hingga saat ini, ada sejumlah
penjelasan yang dikemukakan oleh para pengamat atau penyelenggara Pemilu
tentang penyebab adanya Golput. Pertama, administratif. Seorang pemilih tidak
ikut memilih karena terbentur dengan prosedur administrasi seperti tidak
mempunyai kartu pemilih, tidak terdaftar dalam daftar pemilih dan sebagainya.
Kedua, teknis. Seseorang memutuskan tidak ikut memilih karena tidak ada waktu
untuk memilih seperti harus bekerja di hari pemilihan, sedang ada keperluan,
harus ke luar kota di saat hari pemilihan dan sebagainya. Ketiga, rendahnya
keterlibatan atau ketertarikan pada politik (political engagement). Seseorang tidak
memilih karena tidak merasa tertarik dengan politik, acuh dan tidak memandang
Pemilu atau Pilkada sebagai hal yang penting. Keempat, kalkulasi rasional.
Pemilih memutuskan tidak menggunakan hak pilihnya karena secara sadar memang
memutuskan untuk tidak memilih. Pemilu legislatif dipandang tidak ada gunanya,
tidak akan membawa perubahan berarti. Atau tidak ada calon kepala daerah yang
disukai dan sebagainya (Eriyanto ; 2007).
2.2
PEMBAHASAN
1. Pengertian
Politik merupakan salah satu sarana
interaksi atau komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat sehingga apapun
program yang akan dilaksanakan oleh pemerintah sesuai dengan
keinginan-keinginan masyarakat dimana tujuan yang dicita-citakan dapat dicapai
dengan baik.
Partisipasi politik adalah kegiatan
seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan
politik yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara dan secara langsung atau
tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah.
Pemilihan umum merupakan sarana yang
bersifat demokratis untuk membentuk sistem kekuatan negara yang berkedaulatan
rakyat dan permusyawaratan perwakilan yang digariskan oleh Undang-Undang Dasar
negara.
Golput adalah mereka yang dengan
sengaja dan dengan suatu maksud dan tujuan yang jelas menolak memberikan suara
dalam pemilu.
2. Analisa Penyebab Golput
Berdasar pemaparan secara teoritis
dan tinjauan penelitian sebelumnya ada perbedaan pendapat para ahli dan temuan
hasil penelitian tentang fenomena golput.
Menurut David Moon ada perilaku non-voting yaitu pertama, menekankan
pada karakteristik sosial dan psikologi pemilih serta karakteristik
institusional sistem pemilu; dan kedua, menekankan pada harapan pemilih tentang
keuntungan dan kerugian atas keputusan mereka untuk hadir atau tidak hadir
memilih.
Merujuk pedapat Arbi Sanit golput
dapat diklasifikasi menjadi tiga yaitu Pertama, menusuk lebih dari satu gambar
partai. Kedua , menusuk bagian putih dari kartu suara. Ketiga, tidak mendatangi
kotak suara dengan kesadaran untuk tidak menggunakan hak pilih. Sedangkan
menurut Novel Ali dapat di bagi dua kelompok golput awam dan kelompok golput pilihan. Secara lebih detail
diuraikan oleh Eep Saefulloh Fatah golput teknis, golput teknis-politis golput
politis dan golput ideologis.
Hasil penelitian Tauchid Dwijayanto
dalam kasus pilkada Jawa Tengah ada tiga yang menyebabkan terjadinya golput
yaitu lemahnya sosialisasi, masyarakat lebih mementingkan kebutuhan ekonomi dan
sikap apatisme masyarakat. Berdasarkan hasil temuan Efniwati
ada dua hal yang menyebabkan pemilih golput yaitu faktor pekerjaan dan faktor lokasi TPS. Kemudian Eriyanto
mengatakan ada empat alasan mengapa pemilih golput yaitu karena administratif,
teknis, rendahnya keterlibatan atau ketertarikan pada politik (political engagement)
dan kalkulasi rasional.
Berangkat dari penjelasan ini dalam
pemahaman penulis faktor yang menyebabkan masyarakat untuk tidak menggunakan
hak pilihnya secara sederhana dapat di klasifikasikan kedalam dua kelompok
besar yaitu faktor dari internal pemilih dan faktor ekternal. Faktor internal
yang penulis maksud adalah alasan pemilih untuk tidak menggunakan hak pilih
dalam pemilu bersumber dari dirinya sendiri, sedangkan ekternal alasan tersebut
datang dari luar dirinya. Secara terperinci dapat dilihat pada tabel berikut ini
Tabel
1.2. Faktor Internal dan Ekternal Penyabab Pemilih Golput
1.
Faktor Internal
Tabel di atas menunjukkan tiga
alasan yang datang dari individu pemilih yang mengakibatkan mereka tidak
menggunakan hak pilih. Diantaranya alasan teknis dan pekerjaan pemilih.
- Faktor Teknis
Faktor teknis yang penulis maksud
adalah adanya kendala yang bersifat teknis yang dialami oleh pemilih sehingga
menghalanginya untuk menggunakan hak pilih. Seperti pada saat hari pencoblosan
pemilih sedang sakit, pemilih sedang ada kegiatan yang lain serta berbagai hal
lainnya yang sifatnya menyangkut pribadi pemilih. Kondisi itulah yang secara
teknis membuat pemilih tidak datang ke TPS untuk menggunakan hak pilihnya.
Faktor teknis ini dalam pemahaman
dapat di klasifikasikan ke dalam dua hal yaitu teknis mutlak dan teknis yang
bisa di tolerir. Teknis mutlak adalah kendala yang serta merta membuat pemilih
tidak bisa hadir ke TPS seperti sakit yang membuat pemilih tidak bisa keluar
rumah. Sedang berada di luar kota. Kondisi yang seperti yang penulis maksud
teknis mutlak. Teknis yang dapat di tolerir adalah permasalahan yang sifatnya
sederhana yang melakat pada pribadi pemilih yang mengakibat tidak datang ke
TPS. Seperti ada keperluan keluarga, merencanakan liburan pada saat hari
pemilihan. Pada kasus-kasus seperti ini dalam pemahaman penulis pemilih masih
bisa mensiasatinya, yaitu dengan cara mendatangi TPS untuk menggunakan hak
pilih terlebih dahulu baru melakukan aktivitas atau keperluan yang bersifat
pribadi.
Pemilih golput yang karena alasan
teknis yang tipe kedua ini cenderung tidak mengetahui essensi dari menggunakan
hak pilih, sehingga lebih mementingkan kepentingan pribadi dari pada
menggunakan pilihnya. Pemilih ideal harus mengetahui dampak dari satu suara
yang diberikan dalam pemilu. Hakikatnya suara yang diberikan itulah yang
menentukan pemimpin lima tahun mendatang. Dengan memilih pemimpin yang baik
berarti pemilih berkontribusi untuk menciptakan masa depan yang lebih baik
pula.
- Faktor Pekerjaan
Faktor pekerjaan adalah pekerjaan sehari-hari
pemilih. Faktor pekerjaan pemilih ini dalam pemahaman penulis memiliki
kontribusi terhadap jumlah orang yang tidak memilih. Berdasarkan data Sensus
Penduduk Indonesia tahun 2010 dari 107,41 juta orang yang bekerja, paling
banyak bekerja di sektor pertanian yaitu 42,83 juta orang (39,88 persen),
disusul sektor perdagangan sebesar 22,21 juta orang (20,68 persen), dan sektor
jasa kemasyarakatan sebesar 15,62 juta orang (14,54 persen).
Data yang hampir sama di Provinsi
Kepuluan Riau berdasrakan Data BPS 2010, sebanyak 31,9% penduduk bekerja di
sektor industri, sektor jasa kemasyarakatan sebesar 20,7%, sektor perdagangan
sebesar 18,18% dan pertanian dan perkebunan 13,5%.
Data di atas menunjukkan sebagian
besar penduduk Indonesia bekerja di sektor informal, dimana penghasilanya
sangat terkait dengan intensitasnya bekerja. Banyak dari sektor informal yang
baru mendapatkan penghasilan ketika mereka bekerja, tidak bekerja berarti tidak
ada penghasilan. Seperti tukang ojek, buruh harian, nelayan, petani harian.
Kemudian ada pekerjaan masyarakat yang mengharuskan mereka untuk meninggal
tempat tinggalnya seperti para pelaut, penggali tambang. Kondisi seperti
membuat mereka harus tidak memilih, karena faktor lokasi mereka bekerja yang
jauh dari TPS.
Maka dalam pemahaman penulis faktor
pekerjaan cukup singifikan pada pada faktor internal membuat pemilih untuk
tidak memilih. Pemilih dalam kondisi seperti ini dihadapkan pada dua pilihan
menggunakan hak pilih yang akan mengancam berkurang penghasilannya atau pergi
bekerja dan tidak memilih.
2.
Faktor Eksternal
Faktor ektenal faktor yang berasal
dari luar yang mengakibatkan pemilih tidak menggukan hak pilihnya dalam pemilu.
Ada tiga yang masuk pada kategori ini menurut pemilih yaitu aspek administratif,
sosialisasi dan politik.
a.
Faktor Administratif
Faktor adminisistratif adalah faktor
yang berkaitan dengan aspek adminstrasi yang mengakibatkan pemilih tidak bisa
menggunakan hak pilihnya. Diantaranya tidak terdata sebagai pemilih, tidak
mendapatkan kartu pemilihan tidak memiliki identitas kependudukan (KTP).
Hal-hal administratif seperti inilah yang membuat pemilih tidak bisa ikut dalam
pemilihan. Pemilih tidak akan bisa menggunakan hak pilih jika tidak terdaftar
sebagai pemilih. Kasus pemilu legislatif 2009 adalah buktinya banyaknya
masyarakat Indonesia yang tidak bisa ikut dalam pemilu karena tidak terdaftar
sebagai pemilih. Jika kondisi yang seperti ini terjadi maka secara otomatis
masyarakat akan tergabung kedalam kategori golput.
Faktor berikut yang menjadi penghalang
dari aspek administrasi adalah permasalahan kartu identitas. Masih ada
masyarakat tidak memilki KTP. Jika masyarakat tidak memiliki KTP maka tidak
akan terdaftar di DPT (Daftar Pemimilih Tetap) karena secara administtaif KTP
yang menjadi rujukkan dalam mendata dan membuat DPT. Maka masyarakat baru bisa
terdaftar sebagai pemilih menimal sudah tinggal 6 bulan di satu tempat.
b.
Sosialisasi
Sosialisasi atau menyebarluaskan
pelaksanaan pemilu di Indonesia sangat penting dilakukan dalam rangka
memenimalisir golput. Hal ini di sebabkan intensitas pemilu di Indonesia cukup
tinggi mulai dari memilih kepala desa, bupati/walikota, gubernur pemilu
legislatif dan pemilu presiden hal ini belum dimasukkan pemilihan yang lebih
kecil RT/ RW.
Kondisi lain yang mendorong sosialisi
sangat penting dalam upaya meningkatkan partisipasi politik masyarakat adalah
dalam setiap pemilu terutama pemilu di
era reformasi selalu diikuti oleh
sebagian peserta pemilu yang berbeda. Pada Pemilu 1999 diikuti sebanyak 48
partai politik, pada pemilu 2004 dikuti oleh 24 partai politik dan pemilu 2009
dikuti oleh 41 partai politik nasional dan 6 partai politik lokal di Aceh.
Kondisi ini menuntut perlunya sosialisasi terhadap masyarakat. Permasalahan
berikut yang menuntut perlunya sosialisasi adalah mekanisme pemilihan yang
berbeda antara pemilu sebelum reformasi dengan pemilu sebelumnya. Dimana pada
era orde baru hanya memilih lambang partai sementara sekarang selian memilih
lambang juga harus memilih nama salah satu calon di pertai tersebut. Perubahan
yang signifikan adalah pada pemilu 2009 dimana kita tidak lagi mencoblos dalam
memilih tetapi dengan cara menandai.
c.
Faktor Politik
Faktor politik adalah alasan atau
penyebab yang ditimbulkan oleh aspek politik masyarakat tidak mau memilih.
Seperti ketidak percaya dengan partai, tak punya pilihan dari kandidat yang
tersedia atau tak percaya bahwa pileg/pilkada akan membawa perubahan dan
perbaikan. Kondisi inilah yang mendorong masyarakat untuk tidak menggunakan hak
pilihnya.
Banyak
yang mengira bahwa orang-orang yang memilih golput adalah sekelompok orang yang
kurang memiliki kepedulian pada kehidupan bangsa. Padahal bukan itu sebenarnya
yang ada di hati mereka. Pada beberapa pemilihan pemimpin terdahulu mereka
bersikap skeptis karena memandang bahwa tidak akan ada bedanya siapapun yang
memimpin suatu daerah karena ketidaktersediaan calon pemimpin yang akan mampu
memberikan perubahan. Setiap calon hanyalah orang-orang berkualitas sama.
Janji-janji yang dilontarkan luar biasa muluk sehingga secara logika susah
dicerna akal bagaimana cara mereka akan memenuhinya nanti. Bagi pemimpin model
ini yang penting terpilih dulu, soal janji pikir belakangan. Semua mengklaim
bahwa mereka adalah yang terbaik tanpa didukung bukti nyata. Tidak memiliki
semangat menentang arus besar kapitalisme dan keberpihakan kepada perekonomina
rakyat kecil.
Stigma politik itu kotor, jahat,
menghalalkan segala cara dan lain sebagainya memperburuk kepercayaan masyarakat
terhadap politik sehingga membuat masyarakat enggan untuk menggunakan hak
pilih. Stigma ini terbentuk karena tabiat sebagian politisi yang masuk pada
kategori politik instan. Politik dimana baru mendekati masyarakat ketika akan
ada agenda politik seperti pemilu. Maka kondisi ini meruntuhkan kepercayaan
masyarakat pada politisi.
Faktor lain adalah para politisi
yang tidak mengakar, politisi yang dekat dan memperjuangkan aspirasi rakyat.
Sebagian politisi lebih dekat dengan para petinggi partai, dengan pemegang
kekuasaan. Mereka lebih menngantungkan diri pada pemimpinnya di bandingkan
mendekatkan diri dengan konstituen atau pemilihnya. Kondisi lain adalah tingkah
laku politisi yang banyak berkonflik mulai konflik internal partai dalam
mendapatkan jabatan strategis di partai, kemudian konflik dengan politisi lain
yang berbeda partai. Konflik seperti ini menimbulkan anti pati masyarakat
terhadap partai politik. Idealnya konflik yang di tampilkan para politisi
seharusnya tetap mengedepankan etika politik (fatsoen).
Politik pragamatis yang semakin
menguat, baik dikalangan politisi maupun di sebagian masyarakat. Para politisi
hanya mencari keuntungan sesaat dengan cara mendapatkan suara rakyat. Sedangan
sebagian masyarakat kita, politik dengan melakukan transaksi semakin
menjadi-jadi. Baru mau mendukung, memilih jika ada mendapatkan keutungan
materi, maka muncul ungkapan kalau tidak sekarang kapan lagi, kalau sudah
jadi/terpilih mereka akan lupa janji. Kondisi-kondisi yang seperti penulis
uraikan ini yang secara politik memengaruhi masyarakat untuk menggunakan hak
pilihnya. Sebagian Masyarakat semakin tidak yakin dengan politisi. Harus diakui
tidak semua politisi seperti ini, masih banyak politisi yang baik, namun mereka
yang baik tenggelam dikalahkan politisi yang tidak baik.
Masyarakat
yang sudah putus asa dan kecewa dengan pemerintah, mungkin dengan alasan karena
pemerintah yang lembek atau tidak tegas, kinerja buruk dan banyak hal lain yang
bisa dijadikan mindset untuk kecewa dengan pemerintah. Dalam Islam, putus asa adalah dosa.
Memang pemerintah banyak masalah, akan tetapi mereka tetap bekerja untuk lebih
baik dari hari ke hari. Bayangkan apabila masyarakat Golput semua, siapa yang
memegang pemerintahan selanjutnya???. Pemegangnya tetap pemerintah yang lama
dan akibatnya pasti akan muncul konflik bersaudara karena tidak adanya pemimpin
yang dapat diandalkan, kemudian selanjutnya militerlah yang menjadi pemimpin,
apakah masyarakat mau kita dalam kondisi caos seperti di Mesir dan daerah
lain???. Betapa kondisi saat ini lebih
baik dari pada kondisi apabila Indonesia caos???. Mungkin masyarakat
yang membanggakan Golput pikirannya tidak sampai kepada hal ini/kondisi ini,
untuk itu saya mengajak mereka untuk berpikir lebih cerdas dalam memandang
masalah.
Partai yang tidak lolos verifikasi mengajak
rakyat untuk golput. Apakah partai tersebut partai yang sudah bener
100%??? Artinya kalau tidak ada partai itu maka negara atau pemerintahan ini
hancur atau tidak beres???, Menurut saya partai seperti itu adalah partai
sampah, menghasut
masyarakat untuk kepentingan sendiri. Seperti cerita anak kecil yang
ngambek tidak dibelikan mainan, dan dia tidak bisa menerima alasan dengan
cerdas, artinya partai ini partai yang diisi oleh orang-orang yang tidak
cerdas, apakah anda mau memilih, apabila di 2019 mereka lolos verifikasi???
Sekumpulan atau segolongan masyarakat yang
keinginannya tidak terpenuhi, dan mereka mengancam akan golput apabila tidak
dipenuhi. Seperti anak kecil yang mengancam mamanya untuk tidak mau
makan apabila tidak dibelikan mainan yang dimintanya, merengek-rengek dan
menangis. Anak tersebut tidak bisa diajak berbicara dengan cara cerdas,
menerima alasan (mungkin) orang tuanya sedang tidak punya uang atau memiliki
halangan lainnya.
Dalam hal ini, mereka bisa mengajak masyarakat lainnya untuk
berdemo, dengan membayar beberapa uang per hari per orang. Bayangkan seribu orang berdemo di depan
Istana Presiden selama 6 hari, (@Rp.50.000 per orang per hari X 10.000 Orang, X
6 hari), maka dengan hanya Rp.3.000.000.000,- dampaknya dapat
menggagalkan pemilu yang anggaranya 47 T, dan karena gagal akibat pemilu
dianggap tidak memenuhi syarat maka pemilu akan diulang lagi dengan dana yang
kurang lebih sama. Golput atau tidaknya masyarakat, tidak akan
mengurangi anggaran biaya yang dikeluarkan dalam sebuah proses pemilihan baik
pilkada atau pemilu. Hal ini justru akan membuat biaya yang dikeluarkan negara
menjadi mubazir, terutama biaya pengadaan sarana dan prasarananya. Kemudian
semakin banyak golput akan membuat hasil pemilihan semakin tidak akurat dan
memperbesar peluang diadakannya pemilihan ulang. Artinya akan diperlukan biaya
tambahan yang cukup besar untuk mengadakan pemilihan ulang. Biaya yang
seharusnya bisa dialokasikan untuk membantu rakyat miskin baik untuk biaya
pendidikan dan kesehatan akan habis digunakan untuk membiayai sebuah pemilihan
ulang.
Masyarakat yang menganggap bahwa Golput
merupakan bentuk sikap protes kepada negara atau pemerintah. Ingat ada
atau tidak ada suara dari si Golput, tetap akan ada pemenang dan pemerintahan
tetap akan berjalan, dan sikap protes ini sama sekali tidak akan berpengaruh
apapun, kecuali bagi orang yang sengaja melahirkan atau menciptakan mindset
golput karena alasan-alasan pribadi/golongan (mungkin beberapa alasan diatas).
Partai
politik secara fungsional berperan sebagai sarana pendidikan politik,sosialisasi
politik dan artikulasi kepentingan.Namun,jelang pemilihan umum 2014 peran-peran
konseptual itu,ini jelas tidak sesederhana seperti yang masyarakat pikirkan
karena partai politik saat ini dihadapkan dengan kenyataan pemilih yang lebih
cenderung memilih karena berapa besar bantuan yang bakal mereka terima dari
calon legislatif yang diusung partai politik.Dan fakta politik pada pemilihan
umum 2009 tidak sedikit modal finansial yang dikeluarkan calon legislative. Partai
politik dihadapkan dengan fenomena politisi yang berkualitas tapi tidak punya
finansial yang kuat dan politisi yang punya modal kuat tapi tidak
berkualitas.Disinilah fleksibilitas politik itu dimainkan,dan penulis berharap
kedua hal itu bisa bersinergi dengan baik.
Pemilihan
umum dengan partai politik merupakan dua konsep yang tidak bisa
dipisahkan.pemilihan umum membutuhkan partai politik sebagai
pesertanya.sedangkan partai politik membutuhkan pemilihan umum sebagai sarana
memilih wakil-wakilnya yang akan duduk dalam legislatif maupun kabinet.
Dewasa
ini partai politik seakan tidak berjalan dengan fungsinya bahkan menyimpang hal
ini berdampak dalam pemihan umum yang bisa jadi membuat rakyat pesimis
dikarenakan sejumlah kasus dugaan korupsi yang menyeret nama kader-kader partai
besar.sebut saja politisi Partai Demokrat yaitu M Nazarudin,Angelina
Sondakh,Hartati Murdaya dan ketua umum Anas urbaningrum,dari Golkar ada
Zulkarnaen Djabar yang tersandung kasus korupsi pengadaan Al Quran,ada juga
mantan presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq yang menjadi
tersangka kasus dugaan suap impor daging sapi.Perilaku korup para politisi ini
membuat pilu pemilih menjelang pemilihan umum tahun 2014 yang dikhawatirkan
membuat masyarakat malas menggunakan hak pilihnya dan menjadi golongan putih
atau golput.
Tingkat partisipasi rakyat dalam setiap pemilu memiliki
kecenderungan menurun ternyata tidak mendorong partai politik untuk memperbaiki
kinerjanya,kasus korupsi yang menimpa kader salah satu partai poliik bisa jadi
berdampak buruk ke partai lain yang kadernya tidak terjerat kasus korupsi
karena respon masyrakat yang mengenaralisasi semua partai politik korupsi dan
tinggal nunggu giliran kebongkar.
Hanya
ada dua pilihan yang akan terjadi terkait meerosotnya moral partai dan
hubungannya dengan partisipasi pemilu.pertama adalah para pemilih golput atau
akan pindah ke lain hati dalam arti partai politik tapi kemungkinan ini kecil
karena kekecewaan terhadap partai politik yang berpesan anti korupsi yang
ternyata korupsi menimbulkan sifat apatisme terhadap semua parpol.
Alasan Utama yang diangkat untuk GOLPUT:
1. Pemerintah tidak becus mengurus
pemerintahan
Dinegara
(umumnya negara berkembang) manapun permasalahan pemerintahan tetap ada, coba
hitung jumlah kasus pemerintah daerah kabupaten/kota/propinsi, berapa jumlah
yang pemerintah yang bermasalah dan yang tidak bermasalah???.
2. Pemimpin/pejabat banyak yang
korup
Dinegara
berkembang manapun korupsi tetap ada, orang yang bejat tetap ada, peluang
tersebut yang harus diminimumkan dengan penegakan hukum yang tegas, dan
masyarakat memilih orang dengan tepat.
3. Partai banyak yang bermasalah
dengan hukum
Bukan
partai yang bermasalah, tetapi orang yang mengisi dan itu tidak semua, ingat
tidak semua, makanya mulai sekarang cerdaslah dalam memilih, jangan mau memilih
hanya karena uang Rp.50.000 atau Rp.100.000.
- Solusi
Golput
dalam pemilu perlu diminimalisir dengan memahami akar permasalahan yang
menyebabkan. Jika golput disebabkan kurangnya sosialisasi yang dilakukan pihak
penyelenggara dan pemberikan pendidikan politik oleh setiap partai politik,
maka diperlukan langkah bijak dari para politisi dan KPU untuk terus melakukan
sosialisasi pendidikan politik. Peningkatan jumlah golput jenis ini dalam
pemilihan umum sebaiknya dapat menjadi bahan interospeksi bagi partai politik
dan KPU, untuk bisa memperbaiki setiap tahapan pemilihan mulai pendataan
pemilih hingga sosialisasi.
Golput
yang diakibat oleh faktor administratif ini bisa diminimalisir jika para
petugas pendata pemilih melakukan pendataan secara benar dan maksimal untuk
mendatangi rumah-rumah pemilih. Selain itu dituntut inisiatif masyarakat untuk
mendatangi petugas pendataan untuk mendaftarkan diri sebagai pemilih. Langkah
berikutnya DPS (Daftar Pemilih Sementara) harus tempel di tempat-tempat
strategis agar bisa dibaca oleh masyarakat. Masyarakat juga harus berinisiatif
melacak namanya di DPS, jika belum terdaftar segara melopor ke pengrus RT atau
petugas pendataan. Langkah berikut untuk
menimalisir terjadi golput karen aspek adminitrasi adalah dengan memanfaatkan
data kependudukan berbasis IT. Upaya elektoronik Kartu Tanda Penduduk (E KTP)
yang dilakukan pemerintahan sekarang dalam pandangan penulis sangat efektif
dalam menimalisir golput administratif.
Golput
jika alasannya hanya karena faktor malas atau tingkat kesibukan dalam
beraktivitas, maka tingkat kesadaran akan tanggung jawab kebangsaan dan
kenegaraan perlu diberikan. Kelompok jenis ini adalah kelompok a-politis yang
perlu disadarkan. Terlepas dari itu semua penduduk di Indonesia sebagai besar
berada di pedesaan maka menyebar luaskan informasi pemilu dinilai pentingi,
apalagi bagi masyarakat yang jauh dari akses transportasi dan informasi, maka
sosiliasi dari mulut ke mulut menjadi faktor kunci mengurangi angka golput.
Golput
karena merasa calon pemimpin yang ada, dianggap kurang kredibel juga akan
merugi. Karena dengan golput seperti ini akan terpilih calon pemimpin yang
tidak diinginkan, jika karena calon yang ada mengobral janji yang muluk-muluk
yang tidak mungkin direalisasikan sudah tentu partai politik bisa memperbaiki
recruitment kadernya.
Golput
jika karena tidak ada yang bayar, atau mencoblos karena membela yang bayar. Na’udzubillah…wana’udzubillah.
Ampunilah kami Ya Tuhan dan semoga kita semua adalah orang yang beriman. Amiin.
Masyarakat
yang merasa tidak ada pilihan pemimpin yang bagus yang dapat dipilih, atau
tidak ada yang sesuai dengan keinginan masyarakat, sehingga mereka merasa tidak
ada artinya memilih siapapun. Ingat
tidak ada yang sempurna di dunia ini, apabila kita fokus pada kejelekan orang
maka yang tampak adalah kejelekannya saja, dan sama sekali orang tersebut tidak
ada kebaikannya sama sekali. Kita harus cerdas dalam berpikir, kemungkinan
kejelekan-kejelekan calon tersebut sengaja dihembuskan oleh lawan-lawan
pilihnya. Cobalah berpikir, anda pun
apabila menjadi pemimpin belum tentu menjadi pemimpin yang baik, apalagi yang
terbaik??? Mungkin juga calon yang ikut adalah calon atau orang yang
tidak kita kenal sebelumnya, maka solusinya adalah segera carilah referensi
tentang orang-orang tersebut. Cara
mudahnya, misalnya ada dua calon si “a” dan si “b”, maka tanyakan kepada
pendukung si “b” tentang kejelekan dan kebaikan si “a”, dan sebaliknya tanyakan
kepada pendukung si “a”, tentang kebaikan dan kejelekan si “b”, insyaallah anda
akan mendapatkan jawaban yang lebih obyektif dan adil. Coba belajarlah
berpikir dari kondisi keterbatasan yang telah ada, diantara pilihan-pilihan tersebut pasti ada
yang menjadi pemimpin yang terpilih untuk memimpin, maka berpikirlah untuk berpikir dari pada si
“a”, lebih baik si”b”, dan dari pada si “b” lebih baik si “c”, maka putuskanlah
yang terbaik bagi anda??? itu adalah cara berpikir dalam manajemen resiko, kita
berusaha meminimalkan resiko, bukan menghilangkan resiko, karena kita harus
sadar bahwa siapapun dan apapun usaha kita tetap ada resiko.
Ada
beberapa hal yang harus masyarakat kawal jelang setahun pemilihan umum 2014
nanti dikelar. Pertama,partai poltik, masyrakat harus mampu mendorong partai
politik agar tidak mencalonkan politisi busuk menjadi calon legislatif dan
diharapkan partai politik mencalonkan orang-orang yang punya moralitas dan
integritas sebagai calon legislatifnya atau caleg berkualitas. Kedua, menjadi
pemilih cerdas,menjadi pemilih cerdas pada pemilihan umum 2014 nanti bukanlah
pilihan tapi sudah menjadi suatu keseharusan. Kita bisa lihat bagaimana pada
pemilihan umum 2009 yang lalu kita dengan mudah terbuai oleh janji-janji
politik para politisi tanpa melihat apa yang telah mereka perbuat hari ini
selain kunjungan kerja keluar daerah dan luar negeri, yang menyakitkan sebagian
dari mereka juga jarang turun kemasyarakat sehingga tidak mampu menghasilkan
aturan-aturan yang berpihak terhadap masyarakat. Kini sudah saatnya kita
menjadi pemilih cerdas yang mampu memilah sebelum memilih.
Inilah
saat yang tepat bagi kaum golput untuk mengambil peran. Saatnya untuk
menunjukkan bahwa orang-orang yang dulu memilih golput pada dasarnya memiliki
kepedulian yang tinggi terhadap kemajuan bangsa. Golput umumnya didominasi oleh
orang-orang yang memiliki sikap kritis di atas rata-rata. Bagi mereka pemilihan
pemimpin suatu wilayah harus menghasilkan perubahan positif. Tanpa harapan itu
lebih baik mereka tidur di rumah dari pada membuang-buang energi dan secara
tidak langsung malah ikut bertanggungjawab terhadap kerusakan suatu daerah
akibat salah memilih pemimpin.
Bagi
mereka memilih seorang pemimpin bukanlah tindakan main-main. Sesering apapun
iklan di televisi, sekotor apapun tembok-tembok di seluruh kota dia kotori
dengan gambarnya, selebar apapun baliho yang dia pasang tidak akan bisa
mempengaruhi persepsi mereka terhadap seseorang. Mereka adalah orang-orang yang
berpikir logis dan hanya percaya jika ada bukti, bukan janji apalagi promosi.
Golongan ini menuntut bahwa seorang calon pemimpin harus memenuhi kriteria:
1. Prestasinya sudah terbukti dan diakui secara
nasional maupun intenasional, bukan terkenal karena karbitan.
2. Dicintai oleh sebagian besar rakyatnya, bukan
dicaci apalagi dimusuhi.
3. Program kerjanya logis dan terbukti pernah
sukses diterapkan, bukan hanya janji-janji muluk yang kemudian dilupakan.
4. Kisah suksesnya sudah sering muncul di media
masa jauh sebelum pemilihan dilakukan, bukan merupakan iklan dadakan yang
dibuat tergesa-gesa untuk keperluan kampanye.
BAB
3
PENUTUP
Angka masyarakat yang tidak memilih
atau golput dari pemilu ke pemilu terus meningkat. Dari pembahasan tulisan ini
tergambar setidaknya ada lima faktor yang membuat orang tidak memilih mulai dengan faktor teknis dan
pekerjaan merupakan faktor internal serta faktor ekternal yang terdiri dari
administratif, sosialisasi dan politik. Kelima faktor ini berkontribusi terhadap meningkatnya angka
golput. Harus ada upaya yang maksimal untuk memenimalisir meningkatnya angka
masyarakat yang tidak memilih dalam pemilu. Karena kualitas pemilu secara tidak
langsung juga dilihat dari legitimasi pemimpin yang terpilih. Semakin kuat
dukungan rakyat semakin kuatlah tingkat kepercayaan rakyat.
DAFTAR PUSTAKA
Budiarjo, Miriam, Partisipasi
dan Partai Politik, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta 1986
Kansil, C.S.T Drs. S.H, Memilih
dan Dipilih, Pradnya Paramita, Jakarta 1986
http://politik.kompasiana.com/2012/07/08/kala-para-pendekar-golongan-putih-turun-gunung-476275.html
JURNAL-ILMU-PEMERINTAHAN-BARU-KOREKSI-last_57_66
Langganan:
Postingan (Atom)